Saya menulis post ini dalam keadaan normal, tidak sedang terserang cinta, justru dalam keadaan normal seperti ini saya memilih menulis, bisa lebih jernih, semoga ada yang bisa diambil jadi pelajaran, khususnya saya sendiri, menjadi catatan pribadi sebagai pengingat.
Terlalu luas definisi cinta, kita sempitkan dulu scope yang ingin dibahas disini, yaitu cinta ke lawan jenis dan lebih spesifik lagi untuk membangun keluarga alias menikah. Saat menulis post ini saya masih berstatus jones (jomblo ngenes - kata anak sekarang), meskipun cuma kata yang pertama yang benar :P. Jatuh cinta memang indah rasanya, kalo indomie ya rasa original, alami, bukan dibuat-buat seperti chitato rasa indomie. Yang menarik, apakah mie nya bisa kita nikmati tanpa menurunkan nilai matematika di sekolah (efek MSG), maaf, maksudnya tanpa menurunkan nilai-nilai kehidupan yang sudah kita pelajari dari sejak kecil.
Banyak yang meremehkan masalah menikah, bukan dengan kata-kata tapi dengan persiapan. Sedikit sekali bekalnya, padahal faktanya, menikah harus dipersiapkan jauh sebelum hari H nya, bukan persiapan fisik seperti uang atau undangan, tapi ilmu ilmu. (Sekali lagi, ini catatan Jones selama belajar, bukan pengalaman, boleh kalau tidak percaya/setuju). Belajar sekarang bukan berarti akan menikah besok, atau baru akan menikah 5 tahun kemudian, sama seperti meninggal, jodoh rahasia Tuhan, kita tidak tahu kapan jadinya, maka sikap terbaik adalah belajar mulai sekarang.
Ada yang menikah karena senang dengan bungkus indomie alias fisiknya, mungkin lupa kalau hanya fisik, manusia punya perasaan bosan, padahal menikah bukan hanya 3-4 menit seperti memasak indomie. Mungkin juga lupa, kalau tidak ada yang ter-cantik atau ter-ganteng, akan datang indomie-indomie dengan rasa lain di muka bumi ini, kalau sekedar fisik.
Sama seperti suapan indomie pertama, memang ada perasaan yang wah, ketika jatuh cinta melanda, rasa rasanya langsung mau tambah, padahal baru suapan pertama, yang sebenarnya akan berakhir kenyang. Ada banyak momen dalam hidup ketika merasa bahwa indomie ini adalah indomie yang paling enak, hanya karena kita melihat iklan di TV atau melihat poster di jalan. Kita tidak jatuh cinta satu atau dua kali, akan datang berkali-kali, padahal yang akan kita nikahi akhirnya hanyalah satu (mungkin).
Sudah tahu seperti itu, masih banyak yang memilih terjun lebih dalam (pacaran dan sejenisnya), padahal hanya akan berakhir sakit hati, kalau bukan kita, ya lawan pasangannya yang akan menderita, apa manfaatnya? Sudah biasa kita melihat orang berpacaran hingga bertahun-tahun ada yang berkahir berpisah dan ada juga yang menikah tapi hanya berakhir satu tahun bahkan kurang. -Semoga yang sudah menikah diberi ketenangan dan kebahagiaan sampai akhir- .Berpikir bisa mengenal pasangannya saat berpacaran, padahal saat itu hanya yang baik-baik yang ditampilkan, semua kekurangan berusaha ditutupi. Berbeda dengan ketika sudah menikah, semua harus saling terbuka.
Terus bagaimana kita tahu kalau dia jodoh? faktanya tidak akan, sampai kita sudah menikah, itulah yang jodoh. Maka sikap terbaik yang bisa kita ambil 1. menjaga diri dan 2. terus memperbaiki diri sendiri, sampai memang datang waktunya. Bayangkan kita menikah, dan pasangan bercerita tentang pacar-pacaranya yang dulu… Mungkin keren sebelum menikah, kita punya banyak penggemar, menanam bibit-bibit harapan di banyak ladang perasaan, tapi apa manfaatnya? selain perasaaan bangga yang dinikmati sendiri. Yang kedua, perbaiki diri sendiri, silahkan beri yang terbaik, bukan di sosial media, tapi dengan pasangan sah nantinya.
Cukup membandingkan cinta dengan indomie, karena memang tidak bisa dan tidak pantas untuk dibandingkan. Tidak perlu berharap banyak ke lawan-jenis yang kita anggap jodoh, yang hanya akan menyiksa sendiri. Toh kalau jodoh, mau lari kemana juga, akan kembali. Tanyakan ke orang tua kita, mereka yang tidak berpacaran, mereka yang hanya dipertemukan satu kali, dan sampai sekarang berhasil mendidik kita sampai bisa membuka website dan membaca post ini seperti sekarang. Jadi, kurangi makan indomie, perbanyak yang bergizi.